Ekonomi Kekayaan Intelektual

(Refleksi Hari Kekayaan Intelektual Sedunia)
Ridwan Lobubun*
(terbit di kolom opini Malut Post, edisi 26 April 2022)
opini


Wajah sumringah terpancar dari seorang Ibu pelaku usaha batik di seputaran Ternate Utara saat berkisah jatuh-bangun membangun usahanya dari nol. Ia bertutur kepada saya pada medio 2020 silam saat hendak mewancarainya. Saat berbincang, di samping kami tampak seorang pekerja begitu lihai ‘membatik-tulis’ motif lokal pala dan cengkih. Titik balik bagi usahanya, ia berkisah, datang kala ia mendaftarkan motif batik miliknya sebagai produk kekayaan intelektual (KI). KI itu memperoleh perlindungan hukum. Ia juga berkesempatan mendapatkan pendampingan dan bantuan dari pemda dan perbankan.
Ibu baik itu tak sendiri. Karya batik Malefo khas Ternate miliknya merupakan satu dari 23,30 persen usaha di Indonesia yang memiliki Hak Kekayaan Intelektual sesuai laporan BPS (2021). Kendati demikian, laporan bertajuk “Statistik Karakteristik Usaha” itu mencatat kenyataan kelam: masih terdapat 76,70 persen usaha di Indonesia yang tak memiliki HKI. Padahal, setiap karya KI terdaftar pada Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham memiliki jaminan perlindungan hukum, dan berpotensi meningkatan nilai ekonomi.
Poros Baru Ekonomi 
Harus diakui bahwa ekonomi Indonesia masih mencari bentuk terbaiknya. Pertumbuhan ekonomi bergantung pada SDA kian bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan. Ekonomi berbasis pengetahuan senafas dengan spirit ekonomi kreatif atau ekonomi inovasi berbasis KI. Apapun rupa namanya, ia memiliki roh yang sama: pengetahuan dan kebaruan menjelma bahan bakar inovasi. Ia adalah sumber daya ekonomi tak terbatas. Dalam buku Ekonomi Inovasi, Pratama & Yustika (2021) mengingatkan: pertumbuhan ekonomi akan tumbuh statis bila karya intelektual/inovasi tak menjadi etos pembangunan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi akan mengikuti deret ukur bila ditopang oleh inovasi. Dengan melakukan komparasi kemajuan ekonomi negara maju, keduanya mencatat: paten, desain industri, hak cipta, merek, dan produk KI lainnya berdampak pada nilai ekonomi dan sumber pertumbuhan.
Indonesia tengah mengarah ke arah sana. Menkumham Yasonna H. Laoly (2021) menyebut ekonomi kreatif-inovasi berbasis KI sebagai poros baru ekonomi Indonesia. Menurut catatan, kontribusi KI Indonesia tahun 2019 mencapai Rp1.105 triliun dengan serapan 17 juta tenaga kerja dalam setahun (katadata.co.id, 2021). Di era IT dan digital masif kini, potensi ekonomi KI memiliki porsi besar. Maka, ia membutuhkan dukungan dan kolaborasi berbagai pihak.
 
Ekosistem Kekayaan Intelektual.
Peringatan HKI Sedunia Tahun 2022 pada 26 April 2022 menjadi refleksi pemanfaatan KI sebagai poros baru ekonomi. Namun, membangun ekonomi berbasis KI bukan tanpa syarat. Butuh ekosistem sehat-progresif. Yasonna Laoly (2022) menyebutkan, setidaknya terdapat 3 elemen ekosistem KI: kreasi, proteksi, dan utilitas. Kreasi merupakan buah kreativitas lahirnya karya. Karya itu mendapatkan perlindungan hukum ketika terdaftar pada Ditjen KI. Produk KI pada gilirannya memiliki nilai manfaat. Menghidupkan ketiga elemen ekosistem KI melalui sinergitas berbagai aktor adalah mutlak. Produktif tidaknya ekosistem pada level aktor-elemen memengaruhi peran KI sebagai lokomotif perekonomian masyarakat dan daerah.
Konteks Maluku Utara
Malut merupakan provinsi dengan pertumbuhan ekonomi relatif tertinggi di Indonesia beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan dominan ditopang sektor pertambangan. Namun data sosial-masyarakat lainnya menunjukan paradoks pertumbuhan. Ini menjadi momentum bagi Malut untuk mencari alternatif pertumbuhan ekonomi baru di masa depan karena SDA memiliki keterbatasan. Ekonomi kreatif berbasis KI adalah sumber daya ekonomi tak terbatas. Ia mendorong terciptanya ekonomi inklusif.
Patut disyukuri, Malut adalah wilayah dengan permohonan pendaftar KI komunal (ekspresi budaya & pengetahuan tradisonal, potensi indikasi geografis, dan sumber daya genetik) terbanyak di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Kakanwil Kemenkumham Malut, M. Adnan menyebut capaian itu berkat kolaborasi berbagai pihak: pemda, masyarakat, kampus, media, dan komunitas kreatif lainnya. Ini cerminan bekerjanya elemen ekosistem KI. Tantangan kedepan adalah terus meningkatkan pendaftaran produk KI seperti paten, hak cipta, merek, desain industri, indikasi geografis, termasuk KI komunal yang relatif melimpah di Malut. Sambil memastikan agar produk KI terdaftar di etape hilir dapat terus diberdayakan.
Sejauh amatan saya, Pemda di Malut kian menyadari pentingnya perlindungan KI. Pemkot Ternate misalnya, telah mendaftarkan city branding “Ternate Kota Rempah” pada Ditjen KI melalui Kanwil Malut. Patut diapresiasi dan menjadi motivasi bagi pemda lain. Dalam esai “Babari Membangun Ternate Kota Rempah” (2021), saya menyebut city branding itu sebagai platform yang dapat menggerakkan semua sektor ekonomi kreatif melalui semangat babari (gotong-royong) berbagai pihak secara berkelanjutan.
Tantangan tentu saja ada. Ekosistem KI membutuhkan akselerasi berbagai pihak. Saatnya mewujudkan keadilan ekonomi yang lebih inklusif yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. (*)

* Ridwan Lobubun, Penyusun Laporan dan Hasil Evaluasi, Kanwil Kemenkumham Malut; Alumni Program Revitalisasi Akuntabilitas Publik, FEB UGM.

editor

Subkategori

Search Mobile