KERJA SAMA EFEKTIF MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MENUJU MASYARAKAT CERDAS HUKUM MELALUI PENYULUHAN HUKUM
KUHP BARU DENGAN LEMBAGA MASYARAKAT HUKUM ADAT
Febry Wulandari
Pengelola Bantuan Hukum Kanwil Kemenkumham Maluku Utara
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, ras, agama, dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote. Masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan penghormatan atas keberagaman yang dimiliki masing-masing. Keberagaman budaya yang dimiliki mewarnai kehidupan bermasyarakat yang kental akan nilai-nilai hukum adat.
Nilai-nilai hukum adat tercermin dalam masyarakat hukum adat. Masyarakat adat Indonesia merupakan komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, dan kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat dan Lembaga Adat yang mengelola kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), anggota mereka berjumlah 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 17 juta anggota individu tersebar di seluruh Indonesia.
Fakta sejarah menyatakan bahwa sebelum ada kerajaan, sebelum ada imperium, dan sebelum ada negara-negara nasional, telah ada terlebih dahulu kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang lahir dan tumbuh secara alamiah pada sebuah kawasan. Dengan jumlah dan sejarah yang sebesar itu maka status dan pengakuan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat serta hak-hak konstitusionalnya secara kesatuan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia masih tetap diakui. Penghormatan, perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak kesatuan masyarakat adat (indigenous peoples) adalah termasuk juga dalam bagian dari hukum internasional hak asasi manusia (the international law of human rights). Dalam Pasal 18b Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, juga menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati tiap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat fiksi hukum yang menganggap semua orang tahu hukum dengan adanya adagium “Presumptio iures de iure” yang artinya asas ini menganggap semua orang tahu akan hukum, dalam adagium lain “Ignorantia juris non excusat” yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan. Hal ini mengandung konsekuensi logis bahwa orang tidak bisa beralasan belum mengetahui adanya aturan hukum pidana untuk menghindari dari jeratan sanksi pidana, atau dengan kata lain siapapun yang telah melanggar aturan hukum pidana baik orang itu telah mengetahui atau belum mengetahui adanya aturan hukum pidana tersebut, tetap akan dikenai sanksi pidana.
Hukum pidana di Indonesia sendiri dikenal sebagai KUHP yang kemudian baru-baru ini terdapat kodifikasi KUHP terbaru yang mengandung perubahan dan penambahan pasal pidana di dalamnya. Salah satunya adalah pasal 2 KUHP yaitu pasal Living Law. Pasal ini nantinya akan berdampak secara luas pada kehidupan masyarakat dikarenakan adanya perluasan legalitas didalamnya. Maka melibatkan salah satu elemen yang berperan dalam mengatur tatanan sosial dan kehidupan berkelompok masyarakat, yang bersifat fleksibel dan terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, menjadi penting sebagai langkah antisipatif menghindarkan diri dari perbuatan pidana sekaligus sebagai langkah konkret dalam penyebarluasan aturan hukum itu sendiri.
Upaya untuk menyebarluaskan aturan hukum melalui penyuluhan hukum dengan metode klasik di tengah perkembangan dan kemajuan teknologi dan informasi di era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini semakin tersingkir dan tidak diminati, lantaran masyarakat lebih menggemari teknik penyebaran informasi yang sebagian besar mengadopsi nilai-nilai budaya asing, yang tak jarang mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai hukum adat dikarenakan banyaknya paham asing yang dibawa ke Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, diikuti oleh era pemerintahan orde lama dan orde baru, orde reformasi yang mengindikasikan kemerdekaan masyarakat hukum adat tampak semakin terpinggirkan. Sebutan ‘peladang liar’, ‘penebang liar’, ‘suku terasing’, ‘masyarakat terasing’ dan sejenisnya menunjukkan nasib masyarakat hukum adat terpinggirkan tersebut. Dengan melihat realita tersebut, pastilah muncul dampak yang perlu dikaji seperti bagaimana penerapan penyebarluasan informasi hukum khususnya KUHP apabila sudah dilaksanakan kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat, serta sejauh mana kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat terkait penyebarluasan informasi hukum tentang KUHP terbaru yang memengaruhi kesadaran dan kefahaman hukum masyarakat.
Masyarakat Hukum Adat telah berkontribusi dalam mengestafetkan informasi dari generasi ke generasi sehingga terbangunlah sebuah peradaban. Penyuluhan hukum mengenai diseminasi KUHP dipandang perlu bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat, hal ini dilakukan karena pemberdayaan masyarakat hukum adat sangat bermanfaat bagi penguatan kearifan-kearifan lokal dan untuk mewujudkan amanat Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945, yaitu memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat kesatuan masyarakat hukum adat. Selanjutnya adanya kerja sama penyuluhan hukum dengan lembaga masyarakat hukum adat akan berfungsi efektif dalam memperluas akses informasi dan norma hukum, rakyat akan mempunyai alternatif lain untuk memperoleh pemahaman informasi maupun norma hukum selain mencari informasi hukum melalui perantara lain yang asing bagi sebagian besar rakyat.
Adapun langkah-langkah strategis yang ditawarkan antara lain. Pertama, memperkuat kolaborasi antara lembaga pemerintah daerah, lembaga adat, dan organisasi masyarakat sipil dengan mengadakan pertemuan rapat rutin, pertukaran pengetahuan, serta pengembangan strategi bersama. Kedua, lembaga adat dapat mengambil peran penting dalam menyusun materi edukatif yang mudah dimengerti oleh masyarakat adatnya. Materi tersebut harus mengandung contoh kasus nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, menggunakan bahasa-bahasa daerah atau adat yang dipakai dalam keseharian. Ketiga, memanfaatkan teknologi seperti podcast, video edukatif, atau platform daring untuk menjangkau lebih banyak masyarakat adat lainnya dan mengatasi hambatan akses terhadap informasi. Secara keseluruhan, upaya bersama dalam bentuk kolaborasi dan program penyuluhan memiliki potensi luar biasa dalam meningkatkan pemahaman hukum, norma-norma hukum, dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat adat. Dengan kerja sama yang terarah dan terpadu, sinergi antara lembaga pemerintah daerah, lembaga adat dan organisasi masyarakat sipil memiliki potensi untuk menciptakan dampak transformasional dalam memberdayakan masyarakat adat dalam ranah hukum.
Dengan demikian, Masyarakat hukum Adat dipandang perlu dilibatkan dalam hal penyuluhan hukum, terlebih lagi dalam sosialisasi KUHP yang mana KUHP sendiri merupakan aturan-aturan hukum yang melingkupi segala gerak gerik masyarakat. Meskipun opini ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Sekian.