Memanusiakan Narapidana: Seni ‘Mencintai’ Ala Petugas Pemasyarakatan

Memanusiakan Narapidana: Seni ‘Mencintai’ Ala Petugas Pemasyarakatan

Oleh

Rizki Andika Yusuf

 KEGIATAN_02_11_2024_LAPAS_2.jpeg

Tidak jauh berbeda ketika seseorang sedang jatuh cinta, bagi seorang petugas pemasyarakatan memberikan cinta dan pelayanan yang baik secara konsisten untuk narapidana merupakan tugas penting yang harus dilaksanakan. Di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang mengusung logo pengayoman memberikan arti bahwa seluruh petugas kemenkumham harus mengayomi serta melindungi seluruh rakyat Indonesia dalam bidang hukum dan Hak Asasi Manusia. Senada dengan tugas seorang petugas pemasyarakatan yang memastikan bahwa seluruh warga binaan pemasyarakatan benar-benar diayomi dan dipenuhi segala hak-haknya sesuai dengan regulasi hukum yang berlaku. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam satu kesempatan pernah mengatakan bahwa tugas dari petugas pemasyarakatan bukan menghukum tetapi membina para narapidana agar bisa menjadi lebih baik. Hal ini akan menjadi pengingat bagi seluruh petugas pemasyarakatan agar tidak putus memberi kasih serta perhatian yang lebih untuk para narapidana. Lantas cinta seperti apa yang harus diberikan?

Menurut Master, W.H., dkk (1992), cinta merupakan suatu tugas yang sulit. Artinya setiap manusia tidak hanya mencintai laki-laki maupun perempuan. Manusia dapat mencintai yang lainnya juga seperti, Tuhan, orang tua, saudara, hewan peliharaan, negara, makanan kesukaan, pelangi, dan kegiatannya sehari-hari.

Seperti halnya seorang petugas pemasyarakatan yang memberikan cinta kepada narapidana. Salah satu bentuk ungkapan cinta dari seorang petugas pemasyarakatan adalah sebisa mungkin berperan seperti sahabat, kerabat, bahkan saudara yang selalu ada setiap saat untuk narapidana. Ini perlu dilakukan untuk mengalihkan pikiran bahwa mereka akan dikucilkan di masyarakat atau tidak pernah diterima lagi ketika mereka kembali ditengah masyarakat. Selain itu, ini merupakan cara agar mereka menjadikan petugas sebagai tempat menyampaikan segala bentuk keluh-kesah ketika mereka sedang di fase jenuh berada di lembaga pemasyarakatan. Narapidana dengan segala permasalahan yang muncul bisa mengarahkan pada perasaan kesepian, rasa bersalah berlebihan dan kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup. Sehingga peran petugas pemasyarakatan sebagai orang terdekat narapidana perlu dilakukan sebagai upaya meminimalisir berbagai macam rasa dan keadaan yang tidak baik-baik saja dari mereka.

Sejalan dengan itu, peran petugas pemasyarakatan adalah menjamin terlaksananya proses pembinaan narapidana yang efektif sesuai dengan kebijakan hukum yang berlaku di Indonesia. Secara teoritis, pengertian pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”. Pembinaan narapidana yang sesuai adalah terpenuhinya segala hak-hak mereka selama berada di lembaga pemasyarakatan. Menurut Poernomo yang dikutip dari sebuah jurnal ilmiah mengungkapkan bahwa pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi sesorang yang baik. Arah pembinaan yang dimaksudkan di sini harus tertuju kepada:

  1. Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dan menaati peraturan hukum.
  2. Membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.

Seorang petugas pemasyarakatan sudah sepatutnya memberikan pembinaan yang relevan dengan menanamkan rasa cinta kepada setiap narapidana. Rasa menghargai dan menghormati kepada petugas akan timbul dengan sendirinya ketika seorang petugas pemasyarakatan bisa memanusiakan mereka. Sebaliknya, jika seorang petugas memperlakukan narapidana tidak selayaknya maka yang ditakutkan seorang narapidana akan melakukan hal-hal yang berdampak buruk bagi diri mereka dan tempat dimana mereka menjalani masa pidananya.

Peran petugas pemasyarakatan harus sejalan dengan 10 prinsip pemasyarakarakatan (Ditjenpas, 2022), yaitu:

  1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapatmenjalankan peranan sebagai warga masyarakat  yang baik dan berguna.
  2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara
  3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
  4. Negara  tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
  6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu.
  7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
  8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
  9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya.
  10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, kolektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.

Namun terkadang petugas pemasyarakatan juga terkendala dengan beberapa hal dalam proses pelayanan narapidana. Banyak tantangan yang harus dihadapi petugas pemasyarakatan ketika berhadapan langsung dengan narapidana. Seorang petugas pemasyarakatan harus memahami ratusan bahkan ribuan karakter narapidana yang berbeda-beda sehingga menuntut mereka harus bekerja ekstra dalam mencari pendekatan kepada setiap narapidana.

Di sisi lain juga fasilitas yang dimiliki oleh sebuah lembaga pemasyarakatan menjadi poin penting dalam pelaksanaa pembinaan terhadap narapidana. Lembaga pemasyarakatan harus menyediakan fasilitas yang baik bagi narapidana dalam rangka memenuhi segala hak-hak mereka pada setiap aspek. Fasilitas yang tidak memadai juga dapat memengaruhi kualitas  hidup seorang narapidana di dalam Lapas karena sejatinya seorang narapidana akan tetap produktif selama menjalani masa pidana apabila didukung fasilitas yang baik sesuai dengan kebijakan hukum yang berlaku.

Faktor lain yang mempengaruhi kehidupan seorang narapidana di dalam lapas adalah ketersediaan petugas di dalam lapas yang tidak sepadan dengan jumlah narapidana. Jumlah petugas pemasyarakatan saat ini tidak ideal dibandingkan dengan jumlah narapidana yang harus dijaga. Akibatnya petugas akan menjadi kewalahan dan tidak maksimal melaksanakan tugasnya sebagai seorang penjaga tahanan. Menurut mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Dusak menyebutkan bahwa idealnya 1 petugas berbanding dengan 20 narapidana.

Over capacity juga turut menjadi persoalan yang terjadi dalam lapas sehingga berpengaruh pada kualitas hidup narapidana seperti waktu ketika mereka akan berisitirahat dan melakukan aktivitas didalam lapas. Tentu ini berpengaruh pada hak-hak narapidana yang harusnya didapatkan di dalam lapas menjadi tidak maksimal dan penderitaan baru akan timbul karena hal ini.  Selain itu petugas pemasyarakatan menjadi sulit dalam melakukan pengawasan yang pada akhirnya proses evakuasi akan menjadi lambat apabila terjadi musibah seperti kebakaran dan lain sebagainya. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menyebutkan setidaknya ada 10 lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang mengalami kelebihan populasi dan ini menjadi persoalan yang harus diselesaikan demi berlangsungnya fungsi pelayanan dan perawatan yang efektif bagi setiap narapidana.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebaiknya mempercepat untuk menjawab segala permasalahan ini. Inventarisasi fasilitas pelayanan di setiap lapas untuk mengetahui di mana saja yang secara fasilitas pelayanan belum memadai dan kemudian melaksanakan pengadaan guna memaksimalkan fasilitas pelayanan yang ada di setiap lapas. Menambah petugas pemasyarakatan dengan memperbanyak kuota penjaga tahanan melalui seleksi calon pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu guna meminimalisir terjadinya over capacity sebaiknya mengoptimalkan pada pemberian remisi narapidana agar tidak terjadi pembengkakan pada jumlah narapidana. Terpenting adalah mengkaji kembali regulasi hukum terkait agar permasalahan yang terjadi didalam lapas perlahan bisa diselesaikan sehingga narapidana secara maksimal memperoleh hak-haknya dan menikmati pelayanan prima dari setiap komponen yang ada di dalam lapas.

Walaupun demikian, petugas pemasyarakatan harus tetap mencintai dengan tulus setiap narapidana meski dibatasi oleh keadaan di dalam lapas. Tetap bersemangat dalam menjalankan tugasnya dengan memberikan pelayanan terbaik bagi setiap narapidana tanpa membeda-bedakan sehingga narapidana akan merasakan dicintai dengan tulus oleh petugas pemasyarakatan. Benar kata orang-orang “Cinta tidak akan menuntut kesempurnaan, cinta akan memahami, menerima dan rela untuk berkorban, karena cinta seharusnya membuatmu bahagia bukan terluka”. Dan, inilah yang disebut Seni Mencintai Ala Petugas Pemasyarakatan.

 

BIODATA

 

Hallo Semuanya, perkenalkan nama saya Rizki Andika Yusuf saya besar dan lahir di Ternate pada Tanggal 24 Oktober 1999. Saat ini saya bertugas di Kanwil Kemenkumham Maluku Utara. Sebelumnya, saya pernah bekerja di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Ternate sebagai Pengadministrasian Keuangan. Saya telah menyelesaikan Studi S1 jurusan Ilmu Hukum di Universitas Khairun Ternate.

Sebelum menjadi seorang ASN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saya pernah tergabung di beberapa organisasi seperti Jojaru dan Ngongare Tahun 2018, Duta Bahasa Provinsi Maluku Utara Tahun 2019 dan Duta Genre Provinsi Maluku Utara Tahun 2020.

Saat ini juga saya sedang bergabung dalam sebuah komunitas ASN non-profit yakni Kemenkumham Muda yang merupakan komunitas virtual yang mewadahi para ASN Kemenkumham RI.

Saya yakin bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang dapat memanusiakan manusia.

  

KERJA SAMA EFEKTIF MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MENUJU MASYARAKAT CERDAS HUKUM MELALUI PENYULUHAN HUKUM KUHP BARU DENGAN LEMBAGA MASYARAKAT HUKUM ADAT

KERJA SAMA EFEKTIF MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MENUJU MASYARAKAT CERDAS HUKUM MELALUI PENYULUHAN HUKUM

KUHP BARU DENGAN LEMBAGA MASYARAKAT HUKUM ADAT

 

Febry Wulandari

Pengelola Bantuan Hukum Kanwil Kemenkumham Maluku Utara

Picture1.png

 

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, ras, agama, dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote. Masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan penghormatan atas keberagaman yang dimiliki masing-masing. Keberagaman budaya yang dimiliki mewarnai kehidupan bermasyarakat yang kental akan nilai-nilai hukum adat.

Nilai-nilai hukum adat tercermin dalam masyarakat hukum adat. Masyarakat adat Indonesia merupakan komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, dan kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat dan Lembaga Adat yang mengelola kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), anggota mereka berjumlah 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 17 juta anggota individu tersebar di seluruh Indonesia.

Fakta sejarah menyatakan bahwa sebelum ada kerajaan, sebelum ada imperium, dan sebelum ada negara-negara nasional, telah ada terlebih dahulu kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang lahir dan tumbuh secara alamiah pada sebuah kawasan. Dengan jumlah dan sejarah yang sebesar itu maka status dan pengakuan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat serta hak-hak konstitusionalnya secara kesatuan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia masih tetap diakui. Penghormatan, perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak kesatuan masyarakat adat (indigenous peoples) adalah termasuk juga dalam bagian dari hukum internasional hak asasi manusia (the international law of human rights). Dalam Pasal 18b Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, juga menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati tiap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa terdapat fiksi hukum yang menganggap semua orang tahu hukum dengan adanya adagium “Presumptio iures de iure” yang artinya asas ini menganggap semua orang tahu akan hukum, dalam adagium lain “Ignorantia juris non excusat” yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan. Hal ini mengandung konsekuensi logis bahwa orang tidak bisa beralasan belum mengetahui adanya aturan hukum pidana untuk menghindari dari jeratan sanksi pidana, atau dengan kata lain siapapun yang telah melanggar aturan hukum pidana baik orang itu telah mengetahui atau belum mengetahui adanya aturan hukum pidana tersebut, tetap akan dikenai sanksi pidana.

Hukum pidana di Indonesia sendiri dikenal sebagai KUHP yang kemudian baru-baru ini terdapat kodifikasi KUHP terbaru yang mengandung perubahan dan penambahan pasal pidana di dalamnya. Salah satunya adalah pasal 2 KUHP yaitu pasal Living Law. Pasal ini nantinya akan berdampak secara luas pada kehidupan masyarakat dikarenakan adanya perluasan legalitas didalamnya. Maka melibatkan salah satu elemen yang berperan dalam mengatur tatanan sosial dan kehidupan berkelompok masyarakat, yang bersifat fleksibel dan terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, menjadi penting sebagai langkah antisipatif menghindarkan diri dari perbuatan pidana sekaligus sebagai langkah konkret dalam penyebarluasan aturan hukum itu sendiri.

Upaya untuk menyebarluaskan aturan hukum melalui penyuluhan hukum dengan metode klasik di tengah perkembangan dan kemajuan teknologi dan informasi di era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini semakin tersingkir dan tidak diminati, lantaran masyarakat lebih menggemari teknik penyebaran informasi yang sebagian besar mengadopsi nilai-nilai budaya asing, yang tak jarang mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai hukum adat dikarenakan banyaknya paham asing yang dibawa ke Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, diikuti oleh era pemerintahan orde lama dan orde baru, orde reformasi yang mengindikasikan kemerdekaan masyarakat hukum adat tampak semakin terpinggirkan. Sebutan ‘peladang liar’, ‘penebang liar’, ‘suku terasing’, ‘masyarakat terasing’ dan sejenisnya menunjukkan nasib masyarakat hukum adat terpinggirkan tersebut. Dengan melihat realita tersebut, pastilah muncul dampak yang perlu dikaji seperti bagaimana penerapan penyebarluasan informasi hukum khususnya KUHP apabila sudah dilaksanakan kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat, serta sejauh mana kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat terkait penyebarluasan informasi hukum tentang KUHP terbaru yang memengaruhi kesadaran dan kefahaman hukum masyarakat.

Masyarakat Hukum Adat telah berkontribusi dalam mengestafetkan informasi dari generasi ke generasi sehingga terbangunlah sebuah peradaban. Penyuluhan hukum mengenai diseminasi KUHP dipandang perlu bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Hukum Adat, hal ini dilakukan karena pemberdayaan masyarakat hukum adat sangat bermanfaat bagi penguatan kearifan-kearifan lokal dan untuk mewujudkan amanat Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945, yaitu memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat kesatuan masyarakat hukum adat. Selanjutnya adanya kerja sama penyuluhan hukum dengan lembaga masyarakat hukum adat akan berfungsi efektif dalam memperluas akses informasi dan norma hukum, rakyat akan mempunyai alternatif lain untuk memperoleh pemahaman informasi maupun norma hukum selain mencari informasi hukum melalui perantara lain yang asing bagi sebagian besar rakyat.

Adapun langkah-langkah strategis yang ditawarkan antara lain. Pertama, memperkuat kolaborasi antara lembaga pemerintah daerah, lembaga adat, dan organisasi masyarakat sipil dengan mengadakan pertemuan rapat rutin, pertukaran pengetahuan, serta pengembangan strategi bersama. Kedua, lembaga adat dapat mengambil peran penting dalam menyusun materi edukatif yang mudah dimengerti oleh masyarakat adatnya. Materi tersebut harus mengandung contoh kasus nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, menggunakan bahasa-bahasa daerah atau adat yang dipakai dalam keseharian. Ketiga, memanfaatkan teknologi seperti podcast, video edukatif, atau platform daring untuk menjangkau lebih banyak masyarakat adat lainnya dan mengatasi hambatan akses terhadap informasi. Secara keseluruhan, upaya bersama dalam bentuk kolaborasi dan program penyuluhan memiliki potensi luar biasa dalam meningkatkan pemahaman hukum, norma-norma hukum, dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat adat. Dengan kerja sama yang terarah dan terpadu, sinergi antara lembaga pemerintah daerah, lembaga adat dan organisasi masyarakat sipil memiliki potensi untuk menciptakan dampak transformasional dalam memberdayakan masyarakat adat dalam ranah hukum.

Dengan demikian, Masyarakat hukum Adat dipandang perlu dilibatkan dalam hal penyuluhan hukum, terlebih lagi dalam sosialisasi KUHP yang mana KUHP sendiri merupakan aturan-aturan hukum yang melingkupi segala gerak gerik masyarakat. Meskipun opini ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Sekian.

logo besar kuning
 
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
PROVINSI MALUKU UTARA
PikPng.com school icon png 2780725   Jl. Cengkeh Afo No.40, Kec. Maliaro Tengah, Kota Ternate, Maluku Utara
PikPng.com phone icon png 604605   +6821-4775-7127
PikPng.com email png 581646   Email Kehumasan
    kanwilmalut@kemenkumham.go.id
PikPng.com email png 581646   Email Pengaduan
    kanwilmalut@kemenkumham.go.id

 

facebook kemenkumham   twitter kemenkumham   instagram kemenkumham   linked in kemenkumham   Youtube kemenkumham   rss kemenkumham
logo besar kuning
 
KANWIL KEMENKUMHAM
PROVINSI MALUKU UTARA


  twitter kemenkumham   instagram kemenkumham   linked in kemenkumham   Youtube kemenkumham   rss kemenkumham

  Jl. Cengkeh Afo No.40 , Kec. Maliaro Tengah, Kota Ternate, Prov. Maluku Utara
PikPng.com phone icon png 604605   +6821-4775-7127
PikPng.com email png 581646   kanwilmalut@kemenkumham.go.id
PikPng.com email png 581646   kanwilmalut@kemenkumham.go.id

Copyright © Pusat Data dan Teknologi Informasi
Kemenkumham RI